Sama seperti Kotabaru, Bintaran merupakan kawasan hunian alternatif bagi orang Belanda yang menetap di wilayah Indonesia, berkembang setelah kawasan Loji Kecil tak lagi memadai. Dari segi fisik, kawasan yang bisa ditempuh dengan berjalan ke timur dari perempatan Gondomanan itu tak begitu pesat perkembangannya seperti Kotabaru. Salah satu faktornya adalah letaknya yang masih dekat dengan Loji Kecil sehingga beragam fasilitas masih bisa diakses dengan mudah.
Sebelum berkembang menjadi pemukiman Indisch, Bintaran dikenal sebagai tempat berdirinya Ndalem Mandara Giri, kediaman Bendara Pangeran Haryo Bintoro, salah satu trah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Perkembangan Bintaran sebagai pemukiman Indische diperkirakan dimulai tahun 1930an ditandai pembangunan rumah, fasilitas seperti gereja dan bahkan penjara. Umumnya, orang Belanda yang bermukim di Bintaran adalah yang bekerja sebagai opsir dan pegawai pabrik gula.
Seperti halnya kampung Indische lainnya, ketika YogYES berkunjung, Bintaran dihiasi dengan bangunan-bangunan yang berarsitektur khas Eropa. Meski demikian, ciri bangunan di wilayah Bintaran berbeda dengan bangunan di Loji Kecil ataupun Kotabaru. Halaman bangunan yang berdiri di kawasan Bintaran lebih luas, sementara bagian depan rumah lebih kecil, mempunyai banyak pilar, daun pintu luar berbentuk krepyak serta daun pintu dalam dihiasi kaca.
Bangunan menawan secara arsitektural dan bernilai sejarah yang terdapat di tempat ini tentu saja adalah Ndalem Mandara Giri. Arsitektur bangunan ndalem tersebut merupakan perpaduan Jawa dan Belanda. Ciri Jawa terlihat dari adanya pendopo yang bahan-bahannya khusus didatangkan dari Demak pada tahun 1908. Sementara, ciri bangunan Belanda terlihat dari ruangan yang lebar dan berdinding tinggi serta jendela khas Belanda yang besar dan memiliki dua daun.
Setelah ditinggalkan Pangeran Haryo Bintoro, bangunan ini sempat ditinggali oleh trah kraton lainnya. Pendopo ndalem yang cukup lebar sejak lama telah digunakan sebagai ruang pameran keris, bahkan setelah rumahnya sendiri dikosongkan sejak tahun 1997. Kini, bangunan yang bisa ditemui dengan di pertigaan pertama setelah berbelok ke kiri dari Jalan Sultan Agung ini dimanfaatkan sebagai kantor Karta Pustaka, sebuah lembaga Indonesia Belanda.
Bangunan bersejarah lain juga bisa ditemukan tak jauh dari Ndalem Mandara Giri. Salah satunya adalah Gedung Sasmitaloka Jenderal Soedirman yang bisa ditemui persis di sisi kiri jalan Jalan Bintaran. Dahulu, bangunan yang berdiri tahun 1890 itu dimanfaatkan sebagai kediaman pejabat keuangan puro Paku alam VII bernama Wijnschenk. Bangunan itu juga sempat menjadi rumah dinas Jendral Soedirman, kemudian kediaman Kompi Tukul setelah kemerdekaan.
Sementara, bangunan Museum Biologi yang berada di Jalan Sultan Agung dahulu dimanfaatkan sebagai tempat tinggal pengawas militer daerah Pakualaman. Kediaman seorang warga Belanda bernama Henry Paul Sagers, kini dimanfaatkan sebagai kantor Komando Pemadam Kebakaran. Bangunan bersejarah lain adalah penjara Belanda yang kini digunakan sebagai Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan.
Seperti umumnya pemukiman Indis, Bintaran juga memiliki fasilitas gereja. Yang unik, gereja Bintaran didirikan atas ide orang Jawa yang merasa tidak sreg dengan cara berdoa orang Belanda. H. van Driessche. SJ, seorang keturunan Belanda Indonesia menjadi koordinator pendirian gereja yang berlokasi di ujung selatan Jalan Bintaran ini. Penamaan gereja yang berdiri tahun 1931 ini menjadi Gereja Santo Yusuf berkaitan dengan permohonan Driessche pada Santo Yusuf ketika sulit mencari lokasi gereja.
Selain semua bangunan dan sejarahnya, Bintaran kini juga menawarkan pesona lain, yaitu kulinernya. Salah satu yang cukup terkenal adalah Bakmi Kadin yang berlokasi di Bintaran barat.
Sebelum berkembang menjadi pemukiman Indisch, Bintaran dikenal sebagai tempat berdirinya Ndalem Mandara Giri, kediaman Bendara Pangeran Haryo Bintoro, salah satu trah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Perkembangan Bintaran sebagai pemukiman Indische diperkirakan dimulai tahun 1930an ditandai pembangunan rumah, fasilitas seperti gereja dan bahkan penjara. Umumnya, orang Belanda yang bermukim di Bintaran adalah yang bekerja sebagai opsir dan pegawai pabrik gula.
Seperti halnya kampung Indische lainnya, ketika YogYES berkunjung, Bintaran dihiasi dengan bangunan-bangunan yang berarsitektur khas Eropa. Meski demikian, ciri bangunan di wilayah Bintaran berbeda dengan bangunan di Loji Kecil ataupun Kotabaru. Halaman bangunan yang berdiri di kawasan Bintaran lebih luas, sementara bagian depan rumah lebih kecil, mempunyai banyak pilar, daun pintu luar berbentuk krepyak serta daun pintu dalam dihiasi kaca.
Bangunan menawan secara arsitektural dan bernilai sejarah yang terdapat di tempat ini tentu saja adalah Ndalem Mandara Giri. Arsitektur bangunan ndalem tersebut merupakan perpaduan Jawa dan Belanda. Ciri Jawa terlihat dari adanya pendopo yang bahan-bahannya khusus didatangkan dari Demak pada tahun 1908. Sementara, ciri bangunan Belanda terlihat dari ruangan yang lebar dan berdinding tinggi serta jendela khas Belanda yang besar dan memiliki dua daun.
Setelah ditinggalkan Pangeran Haryo Bintoro, bangunan ini sempat ditinggali oleh trah kraton lainnya. Pendopo ndalem yang cukup lebar sejak lama telah digunakan sebagai ruang pameran keris, bahkan setelah rumahnya sendiri dikosongkan sejak tahun 1997. Kini, bangunan yang bisa ditemui dengan di pertigaan pertama setelah berbelok ke kiri dari Jalan Sultan Agung ini dimanfaatkan sebagai kantor Karta Pustaka, sebuah lembaga Indonesia Belanda.
Bangunan bersejarah lain juga bisa ditemukan tak jauh dari Ndalem Mandara Giri. Salah satunya adalah Gedung Sasmitaloka Jenderal Soedirman yang bisa ditemui persis di sisi kiri jalan Jalan Bintaran. Dahulu, bangunan yang berdiri tahun 1890 itu dimanfaatkan sebagai kediaman pejabat keuangan puro Paku alam VII bernama Wijnschenk. Bangunan itu juga sempat menjadi rumah dinas Jendral Soedirman, kemudian kediaman Kompi Tukul setelah kemerdekaan.
Sementara, bangunan Museum Biologi yang berada di Jalan Sultan Agung dahulu dimanfaatkan sebagai tempat tinggal pengawas militer daerah Pakualaman. Kediaman seorang warga Belanda bernama Henry Paul Sagers, kini dimanfaatkan sebagai kantor Komando Pemadam Kebakaran. Bangunan bersejarah lain adalah penjara Belanda yang kini digunakan sebagai Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan.
Seperti umumnya pemukiman Indis, Bintaran juga memiliki fasilitas gereja. Yang unik, gereja Bintaran didirikan atas ide orang Jawa yang merasa tidak sreg dengan cara berdoa orang Belanda. H. van Driessche. SJ, seorang keturunan Belanda Indonesia menjadi koordinator pendirian gereja yang berlokasi di ujung selatan Jalan Bintaran ini. Penamaan gereja yang berdiri tahun 1931 ini menjadi Gereja Santo Yusuf berkaitan dengan permohonan Driessche pada Santo Yusuf ketika sulit mencari lokasi gereja.
Selain semua bangunan dan sejarahnya, Bintaran kini juga menawarkan pesona lain, yaitu kulinernya. Salah satu yang cukup terkenal adalah Bakmi Kadin yang berlokasi di Bintaran barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar